Selasa, 19 Agustus 2014

pemikiran pendidikan an-nahlawi



PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT ABDURRAHMAN AN-NAHLAWI


Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan Islam
Dosen pengampu : Prof. Dr. H. Maragustam Siregar, M.A.












Disusun oleh : Laila Ngindana Zulfa
NIM : 1220410049




PROGAM PASCASARJANA PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Pengantar
Pendidikan merupakan untuk membangun sumber daya manusia memerlukan wawasan yang sangat luas, karena pendidikan menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia baik dalam pemikiran maupun dalam pengalamanya. Oleh karena itu, pendidikan tidak ukup hanya memikirkan dari salah satu segi saja.
Dalam memikirkan tentang pendidikan perlu adanya perenungan yang sangat mendalam dan pemikiran yang bersifat teoritis dan yang bersifat praktis. Pemikiran teoritis mencakup tentang esensi, prinsip, dan konsep materi yang dipersoalkan dalam rangka memberikan pemahaman yang mendalam dan menyeluruh. Adapun pemikiran yang bersifat praktis dilakukan untuk membahas tentang pelaksanaan pendidikan meliputi metodologi pendidikan danpengajarannya.
Abdurrahman an-Nahlawi merupakan seorang tokoh yang kiranya pemikirannya cukup komprehensif dalam memjelaskan tentang pendidikan, khususnya dalam pendiikan islam, beliau lewat karyanya menuangkan ide-ide praktis dan teoritis dalam pelaksanaan pendiikan islam.
B.     Rumusan Masalah
1.      Seperti apa biografi singkat tentang Abdurrahman an-Nahlawi?
2.      Bagaimana pemikiran pendidikan Islam menurut Abdurrahman an-Nahlawi?
3.      Adakah relevansi pemikiran Abdurrahman an-Nahlawi pada era global ini?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Singkat Abdurrahman an-Nahlawi
Abdurrahman an-Nahlawi mempunyai nama lengkap Abdurrahman Abdulkarim Utsman Muhammad al Arqaswasi an-Nahlawi. Beliau dilahirkan di sebuah daerah bernama Nahlawa kota Madinah, Saudi Arabia, pada tanggal 7 Safar 1396 H / 1876 M. [1]
Abdul Karim Utsman adalah nama ayahnya yang mendidik dan membesarkannya. Ayahnya adalah seorang yang taat ibadah dan taat beragama Islam sehingga selalu memperhatikan pendidikan anak-anaknya.
Dengan latar belakang kondisi keluarga yang Islami, tidak heran jika an Nahlawi sejak kecil telah mendapat didikan dan bimbingan dari keluarganya dengan islami dan berpengalaman serta menghargai ilmu pengetahuan baik ilmu agama maupun ilmu umum. Beliau pernah menjadi pengajar di Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Su’ud di Riyadh, Saudi Arabia, tentang pendidikan Islam. Pemikiran-pemikirannya tentang pendidikan Islam terlihat dari karya karyanya yang banyak memancarkan fanatismenya terhadap Islam sehingga dituangkannya dalam teori-teori pendidikannya yang didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW yang dikenal dengan metode Qur’ani dan Nabawi.[2]
Mengenai aktifitasnya, an-Nahlawi dalam bidang keilmuan, beliau banyak menulis tentang ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pendidikan, khususnya dalam pendidikan islam. Beliau selalu menjunjung tinggi dan mengutamakan pendidikan islam dan berusaha menjauhkan dari budaya dan falsafah barat (teori pendidikan barat). Kenyataan itu terungkap dalam sebuah mukaddimah yang beliau berpendapat “ Tampaknya gejala memberikan kebebasan yang berlebihan dan memanjakan merupakan akibat utama yang menyingkap tabir keberlebihan pendidikan modern dalam memberikan perhatian kepada anak anak, gejala ini lahir dengan jelas di Amerika di nagara yang mengagung agungkan demokrasi liberal keluarga dan pemerintahan”.[3]
Beliau juga melanjutkan dan menekuni ilmu-ilmu umum seperti filsafat dan psikologi. Hal ini terlihat dalam karya-karyanya yang tampak membandingkan antara peradaban barat dan timur terutama masalah pendidikan yang didasarkan pada filsafat dan dalam mengidekan teori-teori beliau menggunakan pendekatan psikologis. Beberapa karya-karya an Nahlawi yang dapat dijumpai, yakni antara lain :
1)        Ushuul Al Tarbiyah Al Islamiyyah Wa Salibuha, Darul Fikr, Damsyik.
Karya an-Nahlawi ini telah diterbitkan dalam edisi Indonesia dengan judul Prinsip-Prinsip Dan Metode Pendidikan Islam Dalam Keluarga, Sekolah, Dan Masyarakat oleh penerbit Diponegoro pada tahun 1989. Dan Pendidikan Islam dalam keluarga, sekolah dan masyarakat oleh penerbit GIP, Jakarta pada tahun 1995
2)        Karya an-Nahlawi yang lain yang ditulis bersama-sama dengan Abdul Karim Utsman, dan Muhammad Khair Arqaswasi adalah; Tarbiyah Wa Thuruqut Tadris, al Kulliyat Wal Ma’ahid al Ilmiyyah, Riyadh, 1392 H
3)        Karya-karya Abdurrahman an-Nahlawi yang lain yang belum diterbitkan dalam edisi Indonesia antara lain : Ilmu Nafs (Psikologi), Fakultas Syari’ah, Riyadh; A’lama Tarbiyah Fi Tarikhil Islam, al Imam ad Dahabi Dirasatun Maudu’iyatun Tahliliyatun Tarbiyatun, Dar al Fikr.[4]
B.     Pemikiran Pendidikan Menurut Abdurrahman an-Nahlawi
Islam adalah syari’at Allah yang diturunkan kepada umat manusia agar mereka beribadah kepada-Nya di muka bumi. Pelaksanaan syari’at ini menuntut adanya pendidikan manusia, sehingga dia pantas untuk memikul amanat dan menjalankan khilafah. Syari’at Islam hanya dapat dilaksanakan dengan mendidik diri, generasi dan masyarakat supaya beriman dan tunduk kepada Allah semata serta selalu mengingat-Nya.
Umat manusia dewasa ini tengah dilanda penyakit ”kehilangan anak”. Penyakit ini diakibatkan oleh beberapa hal, antara lain: terlalu berlebihan dalam memberikan kebebasan dan memanjakan, tidak adanya kendali dalam memperlakukan anak-anak, terlalu berlebihan dalam menuruti kehendak instinkif dan tidak adanya kendali yang mendasar sehingga menyebabkan hilangnya jutaan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah serta kebebasan wanita yang berlebihan dalam bercampur baur dengan kaum lelaki di segala bidang. Selanjutnya akan dijelaskan beberapa pandangan-pandangan kritis an-Nahlawi tentang pendidikan umum, yang meliputi antara lain :
1.         Pengertian Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu aktifitas untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup.[5] Abdurrahman an-Nahlawi, mendefinisikan pendidikan dari lafadz at- Tarbiyah. Secara etimologis lafadz at-Tarbiyah berasal dari kata:
Pertama : raba yarbu yang berarti : bertambah dan tumbuh.[6] Makna ini dapat dilihat dalam firman Allah :
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷ŽzÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# Ÿxsù (#qç/ötƒ yYÏã «!$# ( !$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y šcr߃̍è? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$# ÇÌÒÈ
Artinya: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).[7]
Kedua : rabiya yarba dengan wazan (bentuk) khafiya yakhfa, berarti : menjadi besar, dan ketiga : rabba yarubbu dengan wazn (bentuk) madda yamuddu, berarti : memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga dan memelihara.[8]
Dari ketiga asal kata ini, Abdurrahman an-Nahlawi, mengutip dari Abdurrahman al-Bani, yang menyimpulkan bahwa pendidikan (tarbiyah) terdiri atas empat unsur, yaitu: Pertama : menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang baligh. Kedua : mengembangkan seluruh potensi dan kesiapan yang bermacam macam. Ketiga : mengarahkan seluruh fitrah dan potensi ini menuju kepada kebaikan dan kesempurnaan yang layak baginya. Keempat: proses ini dilaksanakan secara bertahap, sebagaimana di isyaratkan oleh al Baidlawi dan ar Raghib dengan “ sedikit demi sedikit”. [9]
Dari sini kemudian diambil beberapa kesimpulan asasi untuk memahami makna pendidikan, yaitu Pertama : pendidikan kegiatan yang betul-betul mempunyai tujuan, sasaran dan objek target. Kedua : pendidikan yang sejati dan mutlak adalah Allah SWT. Dialah pencipta fitrah pemberi berbagai potensi/bakat, pembuat berbagai sunnah perkembangan, peningkatan, dan interaksi fitrah sebagai mana Dia mensyariatkan aturan guna mewujudkan kesempurnaan, kemashlahatan, dan kebahagiaan fitrah tersebut. Ketiga : pendidik menuntut terjadinya progam berjenjang melalui peningkatan kegiatan pendidikan dan pengajaran selaras dengan urutan sistematika menanjak yang membawa anak dari suatu perkembangan ke perkembangan lainya. Keempat : peran pendidik harus sesuai dengan tujuan AllahSWT menciptakannya, artinya pendidik harus mampu mengikuti syariat agama Islam.[10]
2.         Dasar-Dasar  (Asas-Asas) Pendidikan Islam
a.    Dasar-dasar Ideal
1)        Manusia menurut pandangan Islam
Dalam menjelaskan tentang manusia an-nahlawi mengambarkan tentang penciptaan manusia, menurutnya hakikat manusia bersumber pada dua asal, Pertama: Ashlul Ba’id, yaitu penciptaan pertama dari tanah, yang kemudian Allah menyempurnakannya dengan meniupkan ruh. Kedua: Ashlul Qorib, yaitu penciptaan manusia dari nutfah.[11] Kemudian an-Nahlawi menjelaskan posisi manusia yang diantaranya adalah:
a)      Manusia merupakan mahluq yang dimulyakan jadi manusia dilarang untung menghinakan dirinya
b)      Manusia mahluk yang istimewa dan terpilih, manusia di anugerahi oleh Allah kemampuan untuk membedakan kabaikan dan kejahatan atau kedurhakaan dari ketaqwaan, Allah menanamkan kesiapan dan kehendak kedalam naluri manusia untuk memilih melakukan sesuatu.
c)      Manusia merupakan mahluk yang dapat dididik, karena Allah membekali manusia dengan kemampuan untuk belajar dan pengetahuan
d)     Manusia mempunyai tanggung jawab untuk menerapkan syariat dan perwujudan penghambaan.[12]
2)        Alam semesta menurut pandangan Islam
Menurut islam alam semesta tercipta difungsikan untuk menggerakkan emosi dan perasaan manusia terhadap keagungan al-Khaliq, kekerdilan manusia dihadapan-Nya, dan pentingnya ketundukan kepada-Nya. Artinya, alam semesta dipandang sebagai dalil Qat’i yang menunjukkan keesaan dan ketuhanan Allah.[13] Perenungan terhadap alam semesta hendaknya dilakukan secara logis dan ilmiyah.[14]
3)        Kehidupan menurut pandangan Islam
Kehidupan menurut pandangan islam merupakan suatu ajang cobaan dan ujian dari Allah untuk manusia. Sifat dunia tidak kekal dan hanya gambaran kesenangan yang sementara, yaitu sebagai sarana lintasan manusia untuk menuju akhirat. Namun dunia juga memiliki kaidah-kaidah sosial dan kemanusiaan yang diwujudkan dalam bentuk masyarakat dan bangsa.
Pemahaman mendalam terhadap kehidupan dunia akan membawa sekaligus mendidik kaum muslimin pada berbagai pemahaman yaitu:
a)      Seorang muslim harus menghindari tipuan dunia yang dapat melalaikan dari penciptaan manusia
b)      Walau harus mengutamakan kehidupan akhirat, seorang muslim tidak boleh menutup diri dari kebaikan dunia.
c)      Dengan pemahaman bahwa dunia merupakan ajang cobaan dan ujian, seorang muslim hendaknya bersabar dalam menghadapi berbagai masalah dunia.
d)     Setiap individu atau kelompok manusia harus bersiap diri memerangi musuh yang menghambat berkibarnya panji kebenaran dan keutamaan.[15]
Untuk menentukan dan mengembangkan materi pendidikan islam hendaknya betolak dari pandangan dasar Islam tentang manusia, alam, dan kehidupan.[16]
b.    Dasar-Dasar Peribadahan (Ta’abbudiyyah)
Ibadah dalam Islam lebih merupakan amal saleh dan latihan spiritual yang berakar dan diikat oleh makna yang hakiki dan bersumber dari fitrah manusia. Pelaksanaan ibadah merupakan pengaturan hidup  seorang muslim baik itu dalam pelaksanaan shalat, pengaturan pola makan melalui puasa, pengaturan kehidupan sosial ekonomi muslim yang bertanggung jawab melalui zakat, pengaturan atau penghidupan integritas seluruh umat islam dalam ikatan perasaan sosial melalui haji, yang jelas ibadah menyatukan satu tujuan umat islam yaitu penghambaan kepada Allah semata serta penerimaan berbagai ajarannya baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi, hikmah dari kependidikan ibadah diantaranya adalah:
1)        Ibadah memdidik diri untuk selalu berkesadaran berfikir.
2)        Ibadah menanamkan hubungan dengan jama’ah muslim (rasa kebersamaan)
3)        Menanamkan kemuliaan dalam diri muslim
4)        Mendidik keutuhan ummat manusia, karena ibadah yang dilakukan dalam kelompok melhirkan rasa kebersamaan sehingga terdorong untuk saling mengenal, menasehati, dan bermusyawarah.
5)        Seorang muslim terdidik untuk memiliki kemampuan dalam melakukan berbagai keutamaan secara konstan dan mutlak, artinya tidak berbatas pada batasan geografis, kepentingan nasional, atau partai yang berkuasa.
6)        Membekali manusia dengan kekuatan rohaniah, yaitu optimisme yang bersumber dari kekuatan Allah, serta kesadaran dan cahaya yang bersumber dari Allah.
7)        Memperbaharui jiwa karena melalui ibadah manusia memiliki sarana untuk mengekspesikan taubatnya, dengan taubat kesalahan dan dosa yang dilakukan anggota tubuh akan hilang.[17]
c.    Dasar-Dasar Syari’at
Syariat Islam merupakan salah satu asas pendidkan Islam yang agung, menurut makna qur’ani syariat merupakan penjelasan tentang akidah dan ibadah yang diarahkan untuk menata kehidupan dan mengatur hubungan kemanusian, berikut ini terdapat penjelasan yang menunjukkan kedudukan syari’at:
1)   Syari’at adalah asa berfikir yang mencakup segala konsep berfikir tentang alam, kehidupan, dan manusia, syari’at mencakup pandangan dan sikap Islam terhadap manusia, alam, dan kehidupan serta keterkaitan manusia dengan semua itu.
2)   Syari’at menetapkan kaidah dan tatanan tingkah laku muslim yang menjadikan kehidupan sebagai teladan kerapian, keteraturan, amanat, akhlak yang luhur, kesistematisan, kesadaran yang sehat, dan berfikir sebelum melakukan segala yang dikehendakinya, yakni membuat keputusan sebelum melakukan.
3)   Syari’at mendidik kaum muslim untuk berfikir logis dengan jalan mengistimbath hukum-hukum.
4)   Syari’at melahirkan umat muslim yang berperadaban, karena untuk memahaminya dibutuhkan kemampuan untuk membaca dan menulis al-Qur’an, memikirkan hukum serta maknanya.[18]
Selain syari’at melatih berfikir, syariat juga mengontrol perilaku manusia, aplikasi syari’at terlihat jelas dalam bentuk perintah dan larangan, pengharaman dan penghalalan, hudud, hukuman, dan bimbingan hingga cara-cara atau metode tertentu dalam jual-beli, perkawinan dan perjanjian serta berbagai masalah hidup yang lain.[19]
Jumhur ulama’ bersepakat bahwa hukum-hukum syari’at Islam berkisar pada pemeliharan lima permasalahan yang menjadi pangkal setiap cabang hukum, yang terdiri atas pemeliharaan agama, pemeliharan jiwa, kekayaan, kehormatan, dan akal.
d.   Sumber- sumber pendidikan Islam
Pendidikan Islam sangat memperhatikan penataan individual dan sosial yang membawa penganutnya pada pemelukan dan pengaplikasian Islam secara komprehensif. Agar penganutnya memikul amanat yang dikehendaki Allah, pendidikan Islam harus maknai secara rinci. Karena itu keberadaan referensi atau sumber pendidikan harus merupakan sumber Islam itu sendiri, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.[20]
3.    Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan merupakan gambaran dari falsafah atau pandangan hidup manusia, baik secara perseorangan maupun kelompok.[21] Adapun tujuan pendidikan menurut an-Nahlawi, Allah menjadikan manusia sebagai makhluk-Nya mempunyai kesiapan untuk berbuat kebaikan maupun kejahatan, dan mengutus Rasul-Nya kepada manusia agar membimbing mereka beribadah kepada-Nya dan mentauhidkan-Nya.[22] Disamping itu, Allah mengadakan manusia di muka bumi untuk menjadi khalifah yang akan melaksanakan ketaatan kepada Allah dan mengambil petunjuk-Nya, dan menundukkan apa yang ada di langit dan bumi untuk mengabdi kepada kepentingan hidup manusia dan merealisasikan hidup itu.[23]
Dari penjelasan di atas, tampak bahwa tujuan asasi dari adanya manusia di alam ini adalah beribadah dan tunduk kepada Allah, serta menjadi khalifah di muka bumi untuk memakmurkannya dengan melaksanakan syari’at dan menaati Allah. Allah SWT telah menjelaskan tujuan ini di dalam firman-Nya :
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Jika tujuan hidup manusia adalah tersebut diatas, maka pendidikanpun harus mempunyai tujuan yang sama, yaitu : mengembangkan pikiran manusia dan mengatur tingkah laku serta perasaannya berdasarkan Islam. Dengan demikian, tujuan akhir pendidikan Islam adalah merealisasikan ‘ubudiyah kepada Allah di dalam kehidupan manusia baik individu maupun masyarakat, yakni dalam seluruh lapangan kehidupan.[24]
Pencapaian tujuan itu bagaimanapun tidak mungkin dilakukan sekaligus secara serentak. Oleh karena itu, pencapaian tujuan harus dilakukan secara bertahap dan berjenjang. Namun demikian, setiap tahap dan jenjang memiliki hubungan dan keterkaitan selamanya, karena adanya landasan dasar yang sama serta tujuan yang tunggal. Pencapaian itu senantiasa didasarkan pada prinsip dasar pandangan terhadap manusia, alam semesta, ilmu pengetahuan, masyarakat dan akhlak seperti yang termuat dalam dasar pendidikan Islam itu sendiri, yakni al-Qur’an dan Sunah Rasul (Hadits).
4.    Tugas dan Syarat Pendidik
Dari penjelasan tentang tugas rasul dalam surat Ali-Imran, dapat disimpulkan bahwasanya guru memiliki beberapa fungsi diantanya:
a.    Fungsi penyucian, artinya seorang guru bertugas sebagai pembersih diri, pemelihara diri, pengembang, serta pemelihara fitrah manusia.
b.    Fungsi pengajaran, artinya seorang guru bertugas sebagai penyampai ilmu pengetahuan dan berbagai keyakinan kepada manusia agar mereka menerapkan seluruh pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari.[25]
Agar seorang pendidik dapat melaksanakan tugas dan fungsi sebagai mana yang telah dibebankan Allah kepada Rasul dan pengikutnya, maka dia harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
a.    Hendaknya tujuan, tingkah laku dan pola pikir guru bersifat rabbani yakni bersandar kepada rabb dengan menaati-Nya, mengabdi kepada-Nya, mengikuti sifat-Nya dan mengenal sifat-sifat-Nya. Dengan sifat rabbani itu maka dalam segala kegiatan mendidiknya akan bertujuan menjadikan para peserta didiknya orang-orang rabbani juga.
b.    Hendaknya pendidik seorang yang ikhlas yakni dengan profesinya sebagai pendidik dan dengan keluasaan ilmunya guru hanya bermaksud mendapatkan keridlaan Allah, mencapai dan menegakkan kebenaran.
c.    Hendaknya pendidik bersabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada anak-anak. Hal itu dikarenakan manusia tidak sama dalam kemampuan belajarnya, guru tidak boleh menuruti hawa nafsunya, ingin segera melihat hasil kerjanya sebelum pengajarannya itu terserap dalam jiwa anak.
d.    Hendaknya guru jujur dan menyampaikan apa yang diserukannya. Tanda kejujuran itu ialah menerapkan anjurannya itu pertama-tama pada dirinya sendiri. Jika ilmu dengan amalnya telah sejalan, maka para pelajar akan meniru dan mengikutinya dalam setiap perkataan dan perbuatannya.
e.    Hendaknya guru senantiasa membekali diri dengan ilmu dan kesediaan membiasakan untuk terus mengkajinya. Hal itu disebabkan mengajarkan ilmu dan menterjemahkan ilmu bagi anak-anak yang belum baligh hanya akan dapat dilakukan jika guru sendiri telah mencerna dan memahami ilmu itu secara mendalam.
f.     Hendaknya guru mampu menggunakan berbagai metoda-metoda mengajar secara bervariasi menguasainya dengan baik serta mampu menentukan dan memilih metoda mengajar yang selaras bagi materi pengajaran serta situasi belajar mengajarnya.
g.    Hendaknya guru mampu mengelolah siswa, tegas dalam bertindak serta meletakkan berbagai perkara secara proposional, tidak bersifat keras dalam kondisi yang semestinya bersikap lunak dan sebaliknya.
h.    Hendaknya guru mempelajari kehidupan psikis para pelajar selaras dengan masa perkembangannya ketika ia mengajar mereka, sehingga dia dapat memperlakukan mereka sesuai dengan kemampuan akal dan persiapan psikis mereka.
i.       Hendaknya guru tanggap terhadap berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang mempengaruhi jiwa, keyakinan, dan pola pikir angkatan muda. Disamping itu, hendaknya memahami pula berbagai problem kehidupan modern serta cara bagaimana Islam mengahadapi dan mengatasinya.
j.      Hendaknya guru bersikap adil diantara para pelajarnya tidak cenderung kepada salah satu golongan diantara mereka dan tidak melebihkan seorang atas yang lain, dan segala kebijaksanaan dan tindakannya ditempuh dengan jalan yang benar dan dengan memperhatikan setiap pelajaran sesuai dengan perbuatan serta kemampuannya.[26]
5.    Kurikulum Pendidikan.
Kurikulum ditinjau dari asal katanya berasal dari bahasa Yunani yang mula mulanya digunakan dalam bidang olah raga yaitu kata curre yang berarti jarak tempuh lari, sedangkan dalam kosa kata Arab, kurikulum dikenal dengan kata manhaj yang berarti jalan yang terang yang dilalui oleh manusia pada berbagai kehidupan.[27]
Menurut an-Nahlawi kurikulum merupakan suatu program bagi suatu jenjang sekolah dalam suatu lingkungan sekolah tertentu. Kurikulum dapat juga dilihat sebagai program bagi unit periodesasi sekolah yang bertujuan untuk mengantarkan anak didik pada tingkatan pendidikan, perilaku, intelektual yang diharapkan membawa mereka pada sosok anggota masyarakat yang berguna bagi bangsa dan masyarakatnya, serta mau berkarya bagi pembangunan bangsa dan perwujudan idealismenya.
Di dalamnya tercakup masalah metode, tujuan, tingkatan pengajaran, materi pelajaran setiap tahun ajaran, topik-topik pelajaran serta aktivitas yang dilakukan setiap siswa pada setiap materi palajaran yang disesuaikan dengan tahapan perkembangan dan kesiapan siswa. Selain itu, suatu kurikulum harus dibangun diatas landasan konsep Islam tentang alam semesta, kehidupan, dan manusia. Maka kurikulum islami harus mmenuhi beberapa ketentuan:
Pertama, kurikulum islami harus memiliki sistem pengajaran dan materi yang selaras dengan fitrah manusia, memeliharanya dari penyimpangan, dan menjaga keselamatan fitrah manusia.
Kedua, kurikulum hendaknya diuraikan untuk mencapai tujuan akhir pendidikan Islam yaitu ikhlas, taat, dan beribadah kepada Allah, disamping pelbagai aspek tujuan seperti aspek psikis, fisik, sosial, budaya maupun intelektual.
Ketiga, pentahapan serta pengkhususan kurikulum hendaknya memperhatikan periodesasi perkembangan peserta didik maupun urisitas (kekhas-an) nya.
Keempat, aplikasi kegiatan, contoh atau teks kurikulum Islam harus memperhatikan tujuan-tujuan masyarakat yang realistis, menyangkut kehidupan, dan bertitik tolak dari keislaman yang ideal.
Kelima, sistem kurikulum islami harus terbebas dari kontrasdiksi, mengalir pada kesatuan Islam, dan selaras dengan integritas psikologis yang telah Allah ciptakan untuk manusia serta selaras dengan kesatuan pengalaman yang hendak diberikan kepada anak didik, baik yang berhubungan dengan sunnah, kaidah, sistem, maupun realitas alam semesta.
Keenam, kurikulum islami hendaknya realistik, yakni dapat diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi serta batas kemungkinan yang terdapat dari negara yang akan melaksanakannya.
Ketujuh, hendaknya metoda pendidikan atau pengajaran dalam kurikulum itu bersifat luwes sehingga dapat disesuaikan dengan berbagai kondisi dan situasi setempat, dengan mengingat pula faktor perbedaan individual yang menyangkut bakat, minat, serta kemmapuan siswa untuk menangkap, menerima, dan mengolah bahan pelajaran yang bersangkutan.
Kedelapan, hendaknya kurikulum itu efektif, dalam arti menyampaikan dan menggugah perangkat-perangkat (sikap) yang positif pula dalam jiwa generasi muda.
Kesembilan, kurikulum itu hendaknya memperhatikan pula tingkat perkembangan siswa yang bersangkutan. Kesepuluh, hendaknya kurikulum memperhatikan aspek-aspek tingkah laku amaliah islami seperti pendidikan untuk berjihad dan menyebarkan da’wah islamiyah serta membangun masyarakat muslim di lingkungan sekolah.[28]
6.    Metode Pendidikan Islam
Metode merupakan suatu cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.[29] Menurut an Nahlawi terdapat beberapa metode yang paling penting dan menonjol yang dicantumkan al-Qur’an ialah :
a.       Metode Hiwar (Percakapan) Qur’ani dan Nabawi
b.      Metode Kisah Qur’ani dan Nabawi
c.       Metode Amtsal (perumpamaan).
d.      Metode Teladan
e.       Metode Latihan dan Pengamalan
f.       Metode Ibrah dan Mau’idhah
g.      Metode Targhib dan Tarhib.[30]
7.    Lingkungan Pendidikan Islam
Alat pendidikan menurut an Nahlawi dapat dipahami sebagai lingkungan pendidikan Islam yakni suatu institusi atau lembaga dimana pendidikan itu berlangsung. Menurut an-Nahlawi lingkungan pendidikan meliputi:
a.         Masjid
Fungsi masjid pada era ini mengalami penyempitan, tidak sebagaimana pada zaman Nabi SAW. Hal itu terjadi karena lembaga-lembaga sosial keagamaan semakin memadat sehingga masjid terkesan sebagai tempat ibadah sholat saja dan lebih tragisnya hanya sebagai tempat pengais rizki. Padahal mulanya masjid merupakan sumber kebudayaan masyarakat Islam, pusat organisasi kemasyarakatan, pusat pendidikan, pusat pemikiran (community center), serta sebagai tempat ibadah dan i’tikaf.
Implikasi masjid sebagai lembaga pendidikan Islam adalah pertama, mendidik anak untuk tetap beribadah kepada Allah SWT. Kedua, menanamkan rasa cinta kepada ilmu pengetahuan dan menanamkan solidaritas sosial serta menyadarkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai insan pribadi, sosial, dan warga negara. Ketiga, Memberikan rasa ketentraman, kekuatan, dan kemakmuran potensi-potensi rohani manusia melalui pendidikan kesabaran, perenungan, optimisme, dan mengadakan penelitian.
b.        Keluarga Muslim (Rumah)
Yang dimaksud dengan keluarga muslim adalah sepasang suami istri yang kedua tokoh intinya (ibu dan ayah) yang mendasarkan pada pembentukan keluarga yang sesuai dengan syarat Islam. Berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah, dapat dikatakan bahwa tujuan terpenting dari pembentukan keluarga adalah hal-hal berikut :
Pertama, mendirikan syari’at Allah dalam segala permasalahan rumah tangga. Kedua, mewujudkan ketentraman dan ketenangan psikologis. Ketiga, mewujudkan sunah Rasulullah SAW melalui pendidikan Keempat, memenuhi kebutuhan cinta kasih anak-anak Kelima, menjaga fitrah anak agar anak tidak melakukan penyimpangan-penyimpangan.[31]
Dengan demikian orang tua berkewajiban melakukan langkah langkah berikut: Pertama, membiasakan anak-anak untuk mengingat kebesaran dan nikmat Allah. Kedua, membiasakan anak-anak untuk mewaspadai penyimpangan-penyimpangan yang kerap membiaskan dampak negatif terhadap diri anak.[32]
c.         Sekolah
Menurut an-Nahlawi, dalam konsepsi Islam, sekolah mempunyai tugas-tugas sebagai lembaga pendidikan Islam: Pertama: penyederhanaan dan penyimpulan, kedua: fungsi penyucian dan pembersihan, ketiga: memperluas wawasan dan pengalaman anak didik melalui transfer tradisi, keempat: mewujudkan keterikatan, integrasi, homogenitas, dan keharmonisan antarsiswa, kelima: penataan dan validasi sarana pendidikan, dan yang terakrir menyempurnakan tugas keluarga dalam pendidikan.[33]
d.        Masyarakat
Menurut an-Nahlawi masyarakat mempunyai andil besar dalam pendidikan lewat amar ma’ruf nahi mungkar, menganggap setiap anak sebagai anak sendiri, memberikan kritik sosial, saling bekerja sama, dan menggunakan landasan afeksi lewat rasa saling mencintai dan menyayangi.

C.    Relevansi Pendidikan Abdurrahman an-Nahlawi Pada Era Global
Pada era sekarang ini, yang disebut era global, setidaknya perlu adanya diterapkan  pemikiran Abdurrahman An-Nahlawi tentang pendidikan, untuk perbaikan moralitas bangsa, menjadi masyarakat yang berkarakter. Pemikiran-pemikiran beliau mempunyai relevansi dengan konsep pendidikan saat ini.
Dalam menyampaikan materi sangat diakui bahwa metode mempunyai peranan yang sangat penting, setidaknya pada zaman sekarang, pengajaran yang monoton tidak relevan lagi, seiring merebaknya metode-metode pendidikan, karena adanya kurikulum KTSP, an-Nahlawi memberikan sumbangan tentang metode pendidikan yang bervariatif yang bersumber dari al-Qur’an sebagi tawaran yang solutif, hal ini memperkaya khazanah metode pengajaran selain mengambil dari barat setidaknya Islam mempunyai metode sendiri yang benar-benar asli dari al-Qur’an.
An-Nahlawi menyaratkan bahwa pendidikan menuntut terjadinya progam berjenjang melalui peningkatan kegiatan pendidikan dan pengajaran selaras dengan urutan sistematika menanjak yang membawa anak dari suatu perkembangan ke perkembangan lainya. Hal ini sesuai dengan UU sisdiknas 2003 bab VI tentang jalur, jenjang dan Jenis pendidikan. Pasal 14. Kurikulum yang menurut pandangan an-Nahlawi, sesuai dengan standar nasional pendidikan pada negara ini, dan rancangannya mempunyai relevansi dengan UU sisdiknas bab X pasal 36 ayat 1-3.
Seorang pendidik harus memiliki syarat-syarat tertentu yang berjumlah sepuluh tersebut mengisyaratkan sebuah kompetensi guru yang sesuai dengan PP no. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 28 ayat 1-3, yang sekarang disempurnakan oleh PMARI no. 16 tahun 2010 pasal 16 ayat 1 dan 2, yaitu:
1.         Pedagogis, kompetensi ini dapat dilihat pada syarat f. Yaitu seorang guru harus bisa menggunakan berbagai metode secara variatif, sesuai dengan kondisi, dan poin g.  Yaitu hendaknya seorang guru bisa mengelola siswanya.
2.         Profesional, poin ini bisa dilihat pada syarat yang ke 5 dan 8 (e dan h), yaitu tentang guru yang harus membekali diri dengan ilmu dan terus mengkaji ilmu, serta seorang guru harus memiliki ilmu psikologi yang digunakan untuk mempelajari kondisi anak didik.
3.         Sosial, yaitu seperti syarat yang dikemukakan poin j yaitu tentang seorang guru harus bersikap adil, dan poin i yaitu bersikap tanggap dengan kondisi dan perkembangan dunia.
4.         Kepribadian, yaitu pada poin a tentang ketakwaan terhadap tuhan, dan poin b tentang keihlasan, serta poin c tentang kesabaran pendidik.
5.         Kepemimpinan, hal ini bisa dilihat dari poin d tentang keteladanan pendidik yang dapat ditiru oleh peserta didik, serta sikap adil, ihlas dan sabarnya.
Berdasarkan pendapat an-Nahlawi memberikan tanggung jawab kepada kita semua, bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab kita semua, bukan hanya dibebankan dalam suatu lembaga atau institusi pendidikan saja, melainkan masyarakat, dan keluarga mempunyai andil yang sangat besar dan penting bagi pembentukan moral.
Keluarga mempunyai andil besar dalam peletakan pendidikan karakter pertama kali, jadi sebuah keluarga harus memberikan pendidikan yang baik tentang keimanan sejak dini. Sebuah keluarga harus mempunyai keteladanan dan membekali diri dengan sifat baik, supaya dapat mendidik anaknya kelak dengan baik juga. Keluarga harus mampu mengontrol dan menjaga serta memberikan pengarahan kepada anak-anaknya untuk bertindak sesuai dengan aturan agama dan negara.
Mengenahi tujuan pendidikan yang digagas oleh an-Nahlawi yaitu ubudiyyah kepada tuhan, memberikan isyarat bahwa manusia merupakan mahluk yang harus rendah hati, hal ini berimplikasi bagi pertumbuhan moral  yang baik kepada anak sebagaimana anak sekarang merupakan penerus bangsa pada masa depan. Pandangan an-Nahlawi terhadap manusia sendiri yang manusia merupakan mahluk yang dapat dididik dan merupakan khalifah fi al-Ard, membangkitkan optimisme kita bahwa kita mempunyai tanggung jawab yang sangat besar, dan bahwa manusia dapat maju dan berkembang jika manusia mau belajar.
Melihat fungsi masjid dahulu, dan melihat keadaan masjid yang seperti sekarang, yang hanya sebagai tempat shalat dan pengais riski saja, maka perlu adanya revitalisasi fungsi masjid, sehingga fungsi masjid bisa seperti dulu, yang merupakan pusak kebudayaan Islam. Setidaknya dengan mengadakan kajian-kajian ilmiah dalam masjid tiap Minggunya, mengadakan diniyah dan TPA, serta pengajian untuk Lansia dalam masjid, dan mengadakan pengajian rutin tiap bulan.












BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Abdurrahman an Nahlawi mempunyai nama lengkap Abdurrahman Abdulkarim Utsman Muhammad al Arqaswasi an Nahlawi. Beliau dilahirkan di sebuah daerah bernama Nahlawa kota Madinah, Saudi Arabia, pada tanggal 7 Safar 1396 H / 1876 M. Beliau dibesarkan pada keluarga yang islami jadi wajar jika pemikiran-pemikirannya lebih bersyifat religius.
Abdurrahman an-Nahlawi menaruh berhatian yang sangat besar terhadap pendidikan, hal ini dibuktikan pada karyanya yang banyak diterbitkan adalah berisi tentang pendidikan. Dari pemikiran-pemikiran beliau adalah  tujuan pendidikan itu merupakan tujuan diciptakannya manusia itu sendiri yaitu beribadah kepada Allah. Untuk menyusun suatu materi pendidikan hendaknya memperhatikan tiga asas pokok yaitu asas ideal, asas ‘ubudiyyah, dan asas tasyri’i, serta yang harus menjadi sumbernya adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.
An-Nahlawi menawarkan metode-metode yang variatif yang bersumber dari al-Qur’an, dan beliau juga menyaratkan bahwa pendidikan harus dilakukan secara berjenjang. Selain itu an-Nahlawi memberikan persyaratan yang sangat ketat bagi seorang pendidik dan dalam pembuatan kurikulum pendidikan. An-nahlawi menekankan bahwa pendidikan merupakan tugas atau tanggung jawab bagi kita semua, bukan hanya tanggung jawab institusi atau lembaga pendidikan semata.












DAFTAR PUSTAKA

An-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, Tarj. Jakarta: GIP, 1995.

An-Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-prinsip Dan Metode Pendidikan Islam Dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, Terj. Herry Noer Ali, Bandung: Diponegoro, 1989.

Aziz, Abdul, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Teras, 2009.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Kudus: Menara kudus, 2002.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995.

Khaerudin, dan Mahfud Junaedi, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Konsep dan Implementasinya di Madrasah, Yogyakarta: Pilar Media, 2007.

Muhammad, Nur, Abdullah M, Studi Komparasi Konsep Pendidikan Islam Dalam Keluarga Menurut Abdurrahman An-Nahlawi dan Abdullah Nashih ‘ulwan, Yogyakarta: Skripsi UIN Sunan Kalijaga, 2003.

Sadulloh, Uyoh, Pengantar Filsafat pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2004

Tim dosen IAIN Sunan Ampel, Dasar-Dasar Kependidikan Islam, Surabaya: Karya Abditama, 1996.

Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004.

Http//www. IAIN Sunan Ampel.com/ Mustaqim: Studi Pemikiran Abdurrahman an Nahlawi/ dalam Google, 03 Nopember 2012.







[1] Nur Muhammad Abdullah M, Studi Komparasi Konsep Pendidikan Islam Dalam Keluarga Menurut Abdurrahman An-Nahlawi dan Abdullah Nashih ‘ulwan, (Yogyakarta: Skripsi UIN Sunan Kalijaga, 2003), hal. 24
[2] Http//www. IAIN Sunan Ampel.com/ Mustaqim: Studi Pemikiran Abdurrahman an Nahlawi/ dalam Google, 03 Nopember 2012.
[3] Abdurrahman an Nahlawi, Prinsip-prinsip Dan Metode Pendidikan Islam Dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, Terj. Herry Noer Ali, (Bandung: Diponegoro, 1989), hal. 22
[4]Http//www. Sunan Ampel. Com/.....
[5] Dra. Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hal. 145
[6] Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam: Dalam Keluarga, Sekolah, Dan Masyarakat, Tarj,  (Bandung, Diponegoro, 1989), hal. 31
[7] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Kudus: Menara kudus, 2002), hal. 409
[8] Ibid
[9] Ibid,.... hal. 32
[10] Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, Tarj. (Jakarta: GIP, 1995), hal. 21
[11] Ibid,... hal. 38
[12] Ibid,... hal. 40-44
[13] Ibid,.... hal. 46
[14] Ibid,.... hal. 48
[15] Ibid,... hal. 61-62
[16] Tim dosen IAIN Sunan Ampel, Dasar-Dasar Kependidikan Islam, (Surabaya: Karya Abditama, 1996), hal. 100
[17] Ibid,... hal. 64-66
[18] Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam: Dalam Keluarga, Sekolah, Dan Masyarakat,.... hal. 101-103
[19] Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat,...... hal. 74
[20] Ibid,...... hal. 28
[21] Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd, Pengantar Filsafat pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2004), hal. 58
[22] Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam: Dalam Keluarga, Sekolah, Dan Masyarakat,.... hal. 160
[23] Ibid
[24] Ibid,.... hal. 162
[25] Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat,...... hal. 170
[26] Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam: Dalam Keluarga, Sekolah, Dan Masyarakat,.... hal. 239-246
[27] Khaerudin dan Mahfud Junaedi, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Konsep dan Implementasinya di Madrasah, (Yogyakarta: Pilar Media, 2007), hal. 23
[28] Abdul Aziz, M.Pd.I, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Teras, 2009), hal.163
[29] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hal. 652-653
[30] Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat,...... hal. 204
[31] Ibid,... hal. 139-144
[32] Ibid,..... hal. 145
[33] Ibid,.... hal. 153-161

2 komentar: